Selamat Datang

Assalamu'alaikum wr wb.

Di rumah ini, aku bercerita tentang banyak hal yang kualami, kupelajari, dan kutemukan hikmahnya.

ini hanya catatan harianku. Tapi bagian dari jejak sejarah yang pernah terlewati dan akan terlalui.

Terima kasih, jika ada manfaatnya untukmu, saudaraku...

salam hikmah, aku muallaf...

Wassalam

Rabu, 19 Oktober 2011

Mengeja Kasih Sayang

Sudah berapa kali aku membuatmu menangis.Ya, pastinya menangis versimu. Sekarang pun masih sama. Sama seperti setiap kali aku berani menentang keputusanmu, dengan caraku. Kuhanya ingin engkau tahu, bukan sekedar ingin menguji kekuatanmu atau mengetes perhatianmu, karena aku bukan Tuhan. Tapi aku ingin engkau tahu, aku juga punya dunia yang ingin kuselamatkan.
Masih ingat bagaimana kisah-kisah kepahlawanan mengakhiri episodenya? Nah, begitulah yang sesungguhnya ingin kulakukan. Tapi belum apa-apa, engkau sudah habis tersayat-sayat dalam dunia yang kuciptakan. Tidakkah kau tahu, aku benar-benar sangat ingin menikmati hari tua bersamamu? Membasuh kakimu menjelang tidur lalu membukakan jendela kamar di saat fajar akan datang.

Tidak banyak yang kupunya memang, tapi segala yang ada pada diriku juga karena engkau yang telah menjadikannya ada. Hanya Tuhan saja yang tahu kedalaman cintaku. Maka bila hari ini kau merasa aku “kejam”, seharusnya aku lebih merasakannya. Tapi karena timbangan cinta itu, aku akan tetap menjaga bibirku mengucapkan. Maka, cobalah rasakan. Agar aku tidak perlu lagi mengucapnya.

Bagiku bahasa lisan tidak akan lebih berat dari suara qalbu. Itu pulalah sebab mengapa aku diam. Aku hanya ingin engkau mengerti. Biar kita berdua bicara dengan bahasa hati. Menikmati tangisan berdua, menikmati senyum berdua. Tapi hingga hari ini engkau masih saja mengutukku dengan doamu.

Mungkin dimatamu aku bidadari, seorang peri yang harus selalu sempurna. Ideal seperti yang ada dalam imajinasi. Tapi nyatanya aku hanya seorang gadis kecil yang sedang berayun-ayun di rindang dedaunan. Warna-warniku semoga bisa membasuh luka di matamu, tapi justru kau menganggapnya pesona lincah di udara. Tahukah bahwa sayapku mudah sekali patah saat kau menyentuhnya dengan keras?

Aku bisa merasakan luka di hatimu. Tapi pernahkah engkau juga ingin melihat bagaimana lukaku? Mengapa kita tidak bicara berdua dan mengungkapkan segala hal yang selama ini menyekat dinding hati kita? Bukankah kita selalu bersama sepanjang rentang usia?

Ayolah, ini waktunya untuk pulang. Pulang kepada nurani kita yang tidak pernah berdusta. Saat wajah dan bibirmu mengatakan “benci”, benarkah itu perasaan yang sesungguhnya? Aku tidak pernah percaya itu, sampai engkau mengatakannya dengan segala energi yang ada di jiwa. Apakah setelah itu aku akan percaya? Tidak juga, karena aku selalu tahu bagaimana hatimu memeluk rasa itu.

Maafkan aku, tapi aku akan buatmu bangga!

Yogyakarta, 20 Oktober 2011.

Terima kasih, sudah kecewa padaku. Bukankah itu sikap jujur yang mengatakan “betapa kau sangat menyayangiku?”
Untuk seseorang yang kuidolakan bertahun-tahun.

Selasa, 04 Oktober 2011

MENCARI ORANG JAMBI DI JOGJA

MENCARI ORANG JAMBI DI JOGJA

oleh Martha Dewi Samodrawati pada 05 Oktober 2011 jam 7:02
Assalamu'alaikum wr wb.

Kepada sahabat yang mengenal orang Jambi di Jogja atau anda sendiri adalah orang Jambi yang sedang berdomisili di Jogja, silakan menghubungi nomor ini untuk silaturrahim. Martha Dewi Samodrawati SH (Safira Saksono) 083867295660. format SMS : Nama (spasi) Asal Kota (spasi) usia (spasi) aktivitas di Jogja. selanjutnya silakan ketik komentar.

Insya Allah setelah pendataan ini kita akan mengadakan acara silaturrahim. Jadi kepada semua sahabat yang mengenal orang Jambi, segera sampaikan informasi berpahala ini.

Terima kasih atas doa dan dukungannya (kayak kampanye aja, ya... ^_^).

Silaturrahim itu,.....

1. Mendapatkan ridho dari Allah SWT.

2. Membuat orang yang kita dikunjungi berbahagia. Hal ini amat sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, yaitu "Amal yang paling utama adalah membuat seseorang berbahagia."

3. Menyenangkan malaikat, karena malaikat juga sangat senang bersilaturahmi.

4. Disenangi oleh manusia.

5. Membuat iblis dan setan marah.

6. Memanjangkan usia.

7. Menambah banyak dan berkah rejekinya.

8. Membuat senang orang yang telah wafat. Sebenarnya mereka itu tahu keadaan kita yang masih hidup, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka merasa bahagia jika keluarga yang ditinggalkannya tetap menjalin hubungan baik.

9. Memupuk rasa cinta kasih terhadap sesama, meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan, mempererat dan memperkuat tali persaudaraan dan persahabatan.

10. Menambah pahala setelah kematiannya, karena kebaikannya (dalam hal ini, suka bersilaturahmi) akan selalu dikenang sehingga membuat orang lain selalu mendoakannya.

So, bantu saudaramu untuk bersilaturrahim ya ^_^.

Maturnuwun sanghet. Terima kasih. jazakumullah ahsanal jaza', guys!

BANTU SHARE ya...


Kamis, 27 Januari 2011

Mempelajari Kesetiaan

Bismillahirrahmanirrahiim. Dengan selalu mengharap bimbingan Allah, aku mulai kembali menulis. Semoga kisah di diary kisah ini menjadi kembali mengisi pelajaran yang dalam dan berharga bagi niatan perbaikan diriku yang tidak pernah selesai. Amiin.


Hari itu aku benar-benar dilenakan dengan pelarianku. Potongan-potongan sampah dan segala kreasi darinya. Awalnya tentu ini dengan niatan baik mencoba membuka jalan maisyah sebagai jawaban atas kebuntuan dan kebingunganku atas tunggakan uang kuliah, biaya hidup, kontrakan dan beberapa kewajiban. Di sisi lain aku tidak ingin ini menjadi agenda tambahan orangtua yang sudah kupecundangi berkali-kali karena kuliah pascaku yang belum mencapai kata “selesai”.

Kembali menjadi diriku belasan tahun yang lalu yang selalu sibuk di kamar sendirian membuat berbagai macam kreasi yang sesungguhnya sering hanya menjadi teman membunuh waktu dan melupakan bahwa banyak hal yang harus ditangisi, aku mencoba tetap bertahan karena kali ini dengan niat yang mulia, bukan sekedar bermain dan membunuh waktu seperti masa itu.


Setiap kali mataku terpejam, selalu saja bayangan kreasi dan bentuk baru muncul di benak. Angganku kian jauh menjemput malam yang sudah menjadi penuh hingga pagi menjelang. Karena tinggal satu jam lagi, adzan Subuh akan segera berkumandang. Dan hari berarti telah berganti. Aku nyaris tidak tidur jika tidak kuperturutkan sedikit rasa kantuk yang ditawar-tawar oleh berbagai ide yang mengantung di kepalaku. Saat seperti ini mengingatkanku pada orang-orang yang “gila kerja”. Menghabiskan sebagian besar hari mereka tanpa istirahat yang cukup hanya untuk memenuhi misi dunia berupa materi. Tapi menurutku kata “hanya” masih perlu dikoreksi. Tidak semua penampakan sesuai aslinya. Karena keaslian niat hanya bisa dilihat oleh Yang Maha Melihat. Jika banyak orang yang harus banting tulang atau bekerja melebihi kemampuan dan kenormalan orang pada umumnya, mungkin mereka punya niat-niat mulia yang mereka simpan dalam tiap tarikan nafas di tiap aktivitas. Bisa karena menafkahi, bisa karena niat ingin memberi yang lebih untuk mencari balasan akhirat, meski juga bisa hanya untuk sekedar memenuhi kelaziman dan kesempurnaan hidup di dunia dengan segala atributnya. Apapun alasannya, tidak ada seorang punya yang pantas memberikan vonis dari tiap perbuatan baik selain Penguasa.


Pukul 04.30, sudah lima belas menit berlalu dari adzan Subuh, akhirnya aku terbangun sebagai hamba yang tidak mendengar langsung seruan kemenangan. Kucoba mereka-reka hari yang harus dihadapi dengan tanpa konsep dan kesiapan yang cukup. Bukan hanya karena teori bahwa perencanaan yang baik adalah separuh dari kesuksesan, tapi karena managemen jiwaku yang akhir-akhir ini juga tidak lebih baik sehingga tidak mampu kupaksa untuk menyusun hari dengan pikiran jernih dan qalbu yang salim.


Aku tidak sempat mengingat, kapan akhirnya aku mau kembali datang rapat Laskar Qur’an. Tidak jelas pukul berapa aku menemukan kesadaran setelah tragedi Subuh kesiangan dan malam yang kepagian itu. Tapi yang jelas aku hadir dengan wajah berseri dan semangat. “Iringi perbuatan jelek dengan kebaikan. Jika tidak menghapus, minimal mengurangi, hehe.” Harapan yang nanggung!


Rapat hari itu berakhir dengan banyak sharing tentang pelaksanaan acara majelis tasmi’ dan khataman Qur’an santri Rumah Tahfidz se-DIY yang akan dihadiri ustad Yusuf dan pelaksanaan agenda pekanan Aduhai Qur’an. Baik di lokasi biasa maupun di pengungsian. Aku salah satu anggota tim Aduhai Qur’an di pengungsian yang bertugas hari Ahad bersama Kang Sam, Mbk Hety dan Elin, yang selalu ceria dan semangat.


Selesai Maghrib beberapa orang telah meninggalkan kantor Wisata Hati duluan karena rapat dinyatakan selesai. Seingatku itu hari Kamis. Waktu yang sangat singkat untuk mengelar even yang hanya diberi waktu persiapan kurang dari dua hari. Dengan berpikir santai dan positif, dan lantaran aku tidak memegang amanah yang sangat krusial, kuikuti saja jalannya rapat dengan lebih rileks. Pesan terakhir yang kutangkap bahwa segala hal akan disampaikan via pesan singkat jika tidak sangat penting Jumat sorenya harus kembali berkumpul. Demikian pula pesan terakhir yang kutitipkan untuk menjadi catatan para duta Laskar Qur’an (relawan Aduhai Qur’an-PPPA Daarul Qur’an) yang akan menghadiri rapat bersama partner even, Takmir masjid lokasi acara yang katanya akan bertemu malam itu juga, agar memastikan jumlah SDM yang ada dan segala hal terkait tugas laskar.

----

Pesan singkat hadir di hand phoneku yang memberitakan akan kembali digelar pertemuan Jumat sore karena ternyata segala hal terkait pelaksanaan kegiatan, kecuali perkap, konsumsi dan keamanan menjadi tugas teman-teman laskar. Sesungguhnya ini hal biasa. Tapi menjadi dilema luar biasa bagiku yang sore itu juga harus menghadiri agenda pekanan pribadi yang “tidak terwakilkan”. Hingga sebuah pesan meminta konfirmasi kehadiranku. Entah mengapa aku menjadi orang yang tidak menjaga komitmen berjama’ah cukup baik saat itu. Aku hanya berikir bahwa even ini belum siap dan ada kekhawatiran yang sedikit membayangi. Meski aku tetap saja bersikap normal dan biasa sekali saat rapat.

Sudah kuputuskan, entah dengan hati nurani atau hawa nafsu, untuk meminta izin kepada murrobiyah untuk tidak hadir halaqoh sore itu. Aku meminta izin, bukan pemberitahuan. Maka kusampaikan juga pertimbangan izinku, meski kusadarai tidak ada kebohongan dan semua berisi fakta, tapi kekhawatiranku bisa menjadi pertimbangan beliau untuk mengizinkanku memilih datang rapat panitia majelis tasmi’ dan khataman. Benar saja, meski aku katakan kalau umi (panggilanku pada sang guru) tidak memberi izin, aku tidak akan datang dan memilih hadir di halaqoh pekanan. Ternyata beliau mengizinkan. Entah karena sangat paham dengan aktivitas yang satu ini yang sering kusampaikan segala harapan dan masalahnya di mutaba’ah (evaluasi) amalan sepekan, atau karena aku memang terlihat “sedikit” memaksa? Semoga aku tidak terkena ucapan dari seorang ustadz yang rekamannya sempat kudengarkan beberapa hari berselang. “ Orang yang tidak komitmen pada janji-janji yang telah disepakati dan lebih memilih melakukan aktivitas kemaksiyatan.” Na’udzubillah! Selamatkan dan tegur aku, Rabb. Meski aku selalu saja menyimpangi niat! Semoga selalu berhasil meluruskannya kembali. “Allah, jaga aku ya.”

---

Rapat sore itu menjadi penanda kesiapan kami untuk mengelar even besok malamnya. Selesai menunaikan shalat Ashar, kami briefing sebentar yang akhirnya hanya berisi doa bersama sebelum berangkat ke lokasi acara yang ditempuh kurang dari tiga puluh menit dari kantor. Di sana lebih baik berlama-lama agar semua panitia yang kurang dari 20 orang ini lebih memahami medan saat job desk disampaikan.


Menurut rencana majelis tasmi’ dan khataman Qur’an yang akan dihadiri ustad Yusuf Mansur sebagai pembaca do’a khotmil akan menghadirkan seribu jama’ah yang terdiri dari seluruh santri, pengurus dan hafidz/zah Rumah Tahfidz se-DIY, juga warga sekitar lokasi yang masjidnya di jadikan tempat khataman. Acaranya mirip seperti even pesantren liburan yang dulu pernah digelar. Hanya kali ini untuk dua hari, Sabtu dan Ahad. Pesantren week end! Acara ini akan digelar setiap bulan bergilir di rumah-rumah tahfidz untuk menjaga dan membangun apresiasi hafalan santri dan tradisi mengkhatamkan Al Qur’an, meski dilakukan dengan cara …tit, aku lupa namanya (apa bahasa Arabnya????) Setiap orang mendapatkan bagian juznya masing-masing yang harus ia selesaikan malam itu. Jadi jika ada 25 Rumah Tahfidz di Jogja yang hadir, maka malam itu ada 25 Al Qur’an yang di khatamkan. Subhanallah, aku baru mengenal hal seperti ini. Meski di wajibatul yaumiyah kader tarbiyah juga melazimkan membaca minimal 1 juz Al Qur’an per-hari, tapi belum pernah aku ikut majelis khataman. Mungkin karena tidak hidup di lingkungan pesantren saja makanya aku minim pengetahuan tradisi pesantren. Well, semua jadi pegalaman yang menarik. Terutama saat malam hari selepas khataman dan waktunya istirahat.


Namanya anak-anak, apalagi mereka pada umumnya memang banyak yang baru menyesuaikan hidup di rumah baru yang disebut Rumah Tahfidz. Miriplah dengan pesantren, tapi bisa dikelola oleh siapapun yang punya niat baik. Cukup dengan niat baik? Kukatakan iya. Hanya dengan memiliki ruangan di rumah yang tidak digunakan saja, kita bisa memiliki rumah tahfidz, rumah tempat anak-anak usia SD-SMA (bahkan sedang digagas untuk mahasiswa) untuk belajar dan menghafal Al Qur’an juga belajar ilmu syar’i. Tiap rumah tahfidz dikelola sesuai dengan improvisasi pengelolanya. Hanya DAQU METODE (Metode Daarul Qur’an) nya saja yang seragam. Selain itu silakan berkreasi. Di dalam DAQU METODE tercantum hal-hal yang terkait dengan aktivitas harian santri, seperti bangun tidur, shalat malam, shalat dhuha dan sunah-sunah yang lain. Shalat tepat waktu dengan qabliyah dan ba’diyahnya, shaum sunnah, penanaman sedekah dan pelaksanaan sunah-sunah Rasulullah lain sesuai tingkat dan kemampuan santri. Juga dilatih Riyadhoh. Aku menyebutnya Riyadhoh jiwa. Kalau orang Jawa membahasakan tirakat. Tapi ini tirakat yang ada dasar hukumnya. Ya seperti di Daqu Metode itu dan doa-doa serta hafalan.


Tidak semua orang harus punya lokasi untuk punya Rumah Tahfidz, kita tetap bisa punya rumah tahfidz dengan berperan sebagai donator penyandang dana untuk biaya hidup anak-anak, dan kebutuhan administrasi, hafidz dan sebagainya. Terobosan ini laku keras di Yogyakarta. Terbukti 25 Rumah Tahfidz berstatus resmi sudah berada di banyak kecamatan. Belum lagi rumah tahfidz-rumah tahfidz yang belum diresmikan dan tidak terdaftar di kantor PPPA (Program Pembibitan Penghafal Al Qur’an). Semoga ustadz Yusuf dan orang-orang yang bersamanya mengagas dan melaksanakan hajat ini mendapat balasan kemulyaan dunia akhirat dari Allah swt.


Kembali ke jam istirahat anak-anak yang menarik dan “awalnya” sedikit mengemaskanku. Saat itu pukul 23.30 sesuai rencana majelis tasmi’ dan khataman selesai. Anak-anak dipersilakan tidur. Namanya juga anak-anak, ada saja tingkah mereka yang suka menarik perhatian. Diantara santri yang hadir bahkan ada yang tidak didampinggi oleh hafidz/zahnya atau pengelola rumah tahfidz bersangkutan. Sementara SDM laskar sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan kakak pemandu untuk setiap rumah tahfidz. Dengan personil yang “seadanya”, tidak semua santri bisa didampinggi. Saat menjelang jam istirahat, aku mulai gelisah karena peserta putri akhirnya harus tidur di lantai 1 masjid dan santri putra di lantai 2 dan 3. Sebagai seorang “bunda”, ada perasaan tidak tega melihat mereka harus tidur di tempat seperti itu. Sementara ada beberapa santri putra yang hingga malam masih saja ingin bermain dengan melemparkan sampah-sampah mereka ke lantai satu tempat peserta putri beristirahat. Pun yang putri, masih saja yang mengobrol hingga larut malam seperti itu. Anak-anak emang nggak ada capeknya. Akhirnya kusisiri barisan santri yang sebagian sudah mulai tertidur dan mengajak mereka untuk istirahat. Ingin senyum sendiri saat melihat tingkah santri putra yang dengan kode tangan dari bawah kukatakan “ayo, dik. Tidur!”. Mereka malah menirukan gayaku, haha. Bocah-bocah!


“Ardi, mau naik lagi kan?” Saat kutemukan Ardi salah satu panitia yang sedang mengambil air mineral di pekarangan masjid.

“Kenapa, mbak?”

“Itu di atas nggak ada kakaknya, ya?”

“Ada, tapi banyak yang ditinggal. Kenapa memangnya, mbak?”

“Nanti tolong naik, ya. Santri putra disuruh tidur. Dari tadi ngelemparin sampah tu ke bawah.” Ucapku sedikit pelan khawatir menganggu yang mulai tertidur.

“Nah, itulah, mbak. Tadi aku tilawahnya telat karena harus mengkondisikan mereka. Tadi aku ancam, siapa yang melempar sampah disuruh tilawah yang keras pakai mix di bawah. Jadi mereka diam. Sekarang sudah nggak lagi, kan?”

“Nggak lagi gimana? Masih! Udah, segera naik aja. Kasihan yang putri. Makasih ya.”

Karena sudah tidak memungkinkan untuk dipindahkan, akhirnya solusi mas Wiwid ada baiknya kupakai. Matikan lampu bawah agar mereka bisa tidur. Tapi ternyata sampah-sampah masih beterbangan dari atas. Hingga mas Agus (MC) meminta kakak-kakak di lantai 2 untuk mematikan lampu. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Semoga jadi lebih baik. Mereka harus istirahat malam ini karena besok pukul tiga sudah harus bangun lagi untuk qiyamul lail.

“Kalian yang putri, segera istirahat gi. Besok harus bangunin adik-adik lho.” Pintaku pada laskar putri.

“Mbak?”

“Nanti nyusul. Bentar lagi.”


Panitia putri disediakan sebuah rumah di depan masjid untuk istirahat sekaligus pusat logistik.

Setelah mengambil mantel kain hitam di rumah itu aku kembali melihat kondisi anak-anak hingga akhirnya kuputuskan untuk istirahat. Sejujurnya sedikit berat meninggalkan mereka. Tapi sudah beberapa malam ini aku juga tidak tidur dengan teratur dan jarang makan. Mungkin tanda-tanda penuaan, hehe. Besok selepas Subuh harus berangkat ke pengungsian.

----

Pukul 02.30 alarmku berbunyi. Berat sekali rasanya untuk bangun. Masih terasa ngatuk menyerang dengan sempurna. Ingin rasanya bisa membunuh kantuk dengan tidur beberapa menit lagi. Setelah memaksa bangun tidak juga berhasil melek dengan wajar, akhirnya kutinggalkan pesan ke laskar putri lain yang lebih fit untuk membangunkanku beberapa menit lagi. Dan benar saja, hampir lima menit lebih aku akhirnya bisa tidur dengan nyenyak. Saat bangun, setengah melompat, aku segera memakai kembali mantel tebal yang sebelumnya menjadi bantal, lalu mengecek bak mandi rumah itu kalau saja sudah berisi air. Karena dari semalam tidak mengalir, maka kubuka saja kerannya. Tapi paginya ternyata sama, hanya ada beberapa cc air di dalamnya. Aku segera menyebrang jalan menuju masjid. Awalnya ingin segera menemukan toilet. Tapi saat kulihat antrian santri dan pendamping yang banyak, hilang rasa tegaku. Sudahlah, yang penting mereka segera bisa berwudhu’ karena sebentar lagi harus shalat malam. Awalnya aku hampir saja tidak menunaikan shalat malam jika kondisinya tidak juga kondusif. Tapi Allah lebih tahu, aku sangat butuh malam ini. Semua Allah yang mengatur! Apa yang akan terjadi di pagi hari nanti.


Benar, saja. Setelah berhasil mengkondisikan shaff santri putri yang di kosongkan dua shaff di depan, untuk diisi iman dan para hafidz plus panitia putra. Aku bisa berwudhu’. Meski hajatku menghampiri kamar mandi belum juga terpenuhi. Masih pada mengantri rupanya!


Malam itu jadi malam yang berkesan dan terindah dalam sejarah shalat lailku. Aku begitu menikmati suasana khusyu’ dan bacaan Qur’an yang tartil dari ustadz Hartanto, Lc selaku imam. Entah berapa ayat yang beliau baca, seingatku dari pukul tiga terakhir aku melihat jam sampai jelang Subuh, kami hanya shalat empat rakaat. Yang kemudian ditutup tiga rakaat witir. Subhanallah, shalat malam itu memberi efek bukan saja pada jiwaku tapi juga pada fisikku. Malam itu Allah memampukanku berdiri tegak dengan dua kakiku yang tidak sempurna. Dan bisa kurasakan aliran darah dan getaran merambat di kaki kananku yang seharusnya belum selesai diteraphi ini. Batinkan berseru, “ya Allah, jika saja setiap malam aku bisa merasakan hal seperti ini, kakiku bakal sembuh!”. Meski aku sangat bisa menerima kenyataan bahwa aku akhirnya harus stroke di usia dini lalu lumpuh dan kembali bisa berjalan meski belum sempurna saat usiaku mulai masuk angka lima, tapi terkadang aku berfikir, jika saja aku bisa sembuh total, insya Allah makin panjang langkahku untuk dakwah. Makin banyak hal yang bisa kulakukan sendiri. Nyetir sendiri, bawa sepeda motor sendiri, tanpa harus datang telat di banyak acara hanya karena aku harus menunggu orang-orang yang mau mengantar atau pergi berbarengan denganku yang tidak semuanya biasa tepat waktu! Meski selalu kubisikkan dalam hati, bahwa aku tidak dengan sengaja sering hadir telat karena kasus seperti ini. Aku juga tidak ingin menjadi orang munafik yang sering datang telat. Karena dengan demikian ia telah mengingkari janjinya! Kecuali ada konfirmasi atau ada hal yang benar-benar force majeur, bukan karena kelalaian! Indah pasti ya. Aku bisa pergi sesukaku. Tidak harus diantar kalau mau kemana-mana. Memuaskan hobi berpetualang sendirian. Meski dulu aku tetap saja melakukannya, tapi pasti lebih menarik kalau aku memiliki kaki yang sehat. Tidak mudah kelelahan kalau harus jalan kaki! Sampai hari ini aku belum pernah ikut ekspedisi dan pendakian. Bagaimana mungkin, karena setiap jalan kaki sedikit jauh, setelahnya aku harus bedrest! Semoga Allah mengabulkan keinginan yang semoga juga kebutuhanku ini. Amiin!

---

Shalat malam disusul dengan Subuh yang diimani ustadz Yusuf. Entah dengan pengeras suara yang tidak “beres” atau memang tidak memakai pengeras suara. Subuh itu kulalui dengan rasa kantuk berat dan gerakan yang tidak tertib. Kurasa jama’ah lain juga merasakan hal yang sama. Tidak tahu kapan harus bangun dari sujud pertama dan kedua. Untuk gerakan lain masih bisa melihat shaff depan, tapi saat bangun dari sujud, aku nyaris kecolongan tertib mengikuti gerakan imam. Tidak ada satu bacaan pun yang mampu kudengar kecuali sayup-sayup ada suara yang sangat kukenal. Bagaimana dengan jama’ah santri di lantai yang lain ya? Hal ini terlewatkan untuk disampaikan saat rapat evaluasi beberapa hari setelah acara. Semoga ini tidak terjadi lagi.


Benar-benar mimpi buruk! Saat ustadz Yusuf memimpin bacaan Waqi’ah, hanya beberapa ayat saja yang sayup kudengar dari santri dan bibirku sendiri, selebihnya aku sudah tertelungkup di atas tikar sujud! Ngantuk beraaaat!. Hingga tepat pukul lima pagi, saat aku mengangkat badanku, ternyata Elin kondisinya tidak jauh berbeda denganku. Tidak berdaya menampar kantuk.


“Dik, sudah jam lima ayo kita berangkat!” bisikku di telingga Elin yang hanya dijawab dengan heem pendek. Bahaya juga nich, kalau dia belum On. Padahal perjalanan kami cukup jauh. Kurapatkan pelukanku di punggungnya untuk meyakinkan apakah ada reaksi. Ternyata ia sudah sadar. Alhamdulillah!


Saat ustadz Yusuf mengisi tausiyah pagi dan setelah mendelegasikan tugas front office kemudian koordinasi dengan panitia lokal yang mengurus konsumsi, aku segera berpamitan dengan salah seorang panitia putri dan ibu panitia itu.

“Pulang?” Tanya ustadz Tanto yang kutemui di pinggir jalan bersama panitia lokal yang mengurusi parkir.

“Mau ke Cangkringan, ustadz.”

“O, ya. Hati-hati.”

“Assalamu’alaikum, ustadz.”

“Wa’alaikum salam.”


Ustadz pasti sudah mahfum kalau disebut kata Cangkringan. Semoga saja begitu. Karena kecamatan itu adalah tempat pengungsi merapi di ungsikan ulang sebelum shelter-shelter yang dibuat Pemda yang juga di buat di lokasi itu siap huni. Intinya ini “pengungsian”. Saat itu, aku tidak berfikir apa-apa selain memenuhi janji pelaksanaan Aduhai Qur’an di pengungsian. Meski disepakati bahwa kami tim yang berangkat ke pengungsian bisa meninggalkan even pagi-pagi, tapi mas Wiwid selaku ketua saat itu, sempat mengatakan “kita lihat bagaimana nanti”. Kupikir, kalau hanya berkurang tiga orang saja, tidak akan menjadi masalah (iya g sich? Hehe).


Sebenarnya event hari Ahad pagi itu bersamaan dengan pelaksanaan Aduhai Qur’an di beberapa cabang yang semua panitia atau Laskar Qur’annya ya mereka yang menjadi panitia di event week end ini. Mau tidak mau pukul tujuh pagi sebagian dari mereka harus sudah meninggalkan lokasi menuju ke tempat pelaksanaan Aduhai Qur’an. Kajian tahfidz pekanan yang diawali shalat dhuha.


Keluar dari hiruk-pikuk orang dan menemukan udara pagi membuat aku dan Elin menikmati euphoria untuk beberapa saat sebelum ban depan motor kami hampir menabrak portal pembatas yang sengaja di pasang untuk memblokir jalan karena pelaksanaan even itu.


“Belum on, mbak”. Kata Elin.

“Sama. Maaf ya, mbak juga nggak lihat. Yang panitia siapa yang nabrak portal siapa.” Kami mencoba menertawakan hidangan pagi kami selepas bangun dari “ketiduran” pagi ini.

---

Di jalan kusempatkan untuk pamit “pemberitahuan” kepada ketua panitia dan mengabari Kang Sam yang juga satu tim ke Cakran, daerah yang dihuni pengungsi asal Ngepringan. Membuat janji bertemu di asrama pukul 06.30 wib via sms.

---

Elin mengatarkanku pulang untuk mandi dan bersiap-siap berangkat lagi bersama mbak Hety yang kemarin sempat keracunan makanan sampai muntah-muntah. Makanya beliau tidak bisa hadir di even week end. Jika saja mbak Hety masih sakit, maka aku hanya berdua Elin yang putri dan bertiga dengan Kang Sam ke lokasi. Tapi Alhamdulillah, saat aku pulang mbak Hety sudah sehat dan meruput (pagi-pagi sekali) beliau sudah keluar untuk mengambil motornya di suatu tempat. Infonya kuketahui via sms.


Menghampiri Elin dan berpamitan dengan bundanya, kami bertiga berangkat terlebih dahulu karena dari pesan singkatnya Kang Sam owner warung “Sate Lontong Cinta” ini akan menyusul. Beliau belum tega meninggalkan lokasi karena acaranya tausiyah ustadz Yusuf yang direncanaka pukul 07.00-08.00 belum dimulai.


Sepanjang jalan aku masih saja diserang rasa kantuk hebat. Jika saja bukan membonceng di motor, pasti aku sudah terlelap, hehe. Ingiiiiiiiin, sekali rasanya tidur meski hanya lima menit (o ya, bukan lima jam?:()


“Mbak, aku tidur ya.” Pintaku pada mbak Hety sambil berusaha merebahkan kepalaku di punggungnya. Lalu mbak Hety menarik tanganku sehingga bisa berpegangan lebih kencang di pinggulnya. “Biasanya kan mbak Hety geli banget kalau aku mau pegangan. Makanya aku nggak pernah pegangan ke mbak Hety kalau digoncengin. Oh, mungkin karena jacketnya tebal.” Batinku.


Sebisa-bisanya kutahan kantuk yang benar-benar susah diajak kompromi. Tapi, Ups. Seperti biasa, aku adalah orang dewasa yang berimajinasi tinggi seperti saat bermain bersama anak-anak. Mungkin karena begitulah tuntutan seorang “pendidik” (amin) yang harus banyak bergaul dengan anak. Kita harus pandai berimajinasi dan membawa anak ke dunia imajinasi. Hehe itu teorinya. Karena dunia anak adalah dunia bermain, ekspresif, suka menyanyi, banyak bergerak. Haha. Tapi kali ini aku sedikit mengarang hayalan, hehe. “Ngantuk banget sich.” Sepertinya akan tidak lucu kalau nanti di koran-koran dan televisi ada kabar begini ‘seorang relawan ditemukan tewas terjatuh dari motor karena mengantuk setelah kelelahan dengan aktivitas-aktivitas sebelumnya’. Hedeh! Kacau kalau begini! Kabar yang tidak menjual “karena ngantuk!”. Kucoba merapatkan pegangan dan berusaha tetap berfikir agar tidak benar-benar tidur. Jika saja mbak Hety tidak menyentuhku dan mengatakan sesuatu yang kukira membangunkanku, mungkin aku sudah tidur beneran. Rupanya mbak Hety melihat Kang Sam sudah berada tepat di belakang kami. Alhamdulillah, aku akhirnya terbangun karena sedikit kaget dibangunkan. Lewatlah sudah tragedy kecelakaan akibat ngantuk!


Sampai dilokasi aku dan mbak Hety langsung ke dapur umum yang berjarak sekitar 15-20 meter dari lokasi tidur pengungsi ngepringan, silaturahim. “Tahu aja mbak Hety kalau aku ngantuk berat. Kalau diajak jalan kaki, bisa-bisa jalan sambil tidur, kalau tinggal di mushalla, bisa tertidur, hihi.” Makanya kami tidak langsung memarkir motor di mushalla.

Seperti biasa setelah beramah-tamah dengan para ibu yang sedang masak, kami mengajak mereka untuk Aduhai Qur’an lagi. “Di tunggu di mushalla ya, bu.”


Sesampainya di mushalla, ngantukku datang lagi. “Haduh, dari tadi kok nggak bosen-bosen menggoda sich! Kuakui engkau memang pantang menyerah, wahai ngantuk!”.


“Mbak, pingin tidur.” Ucapku berbisik di telinga mbak Hety yang hanya dibalas dengan senyum. Lalu menyuruhku membuka acara yang kulaksanakan dengan sedikit bengong. Bismillah…


Setelah tilawah bersama dua halaman surat Yasin yang jadi target hafalan jama’ah, aku membagi para ibu, simbah dan remaja putri, (eh remajanya banyak yang nggak datang dink) menjadi beberapa kelompok untuk BBQ (Bina Baca Qur’an) atau apa dech istilahnya. Intinya latihan ngaji, melancarkan dan tahsin untuk yang sudah bisa baca. Kali ini ngantukku sudah bertekuk lutut dan kolaps! Haha, aku menang! (Pasang wajah pembalasan).


Ups, tunggu. Sebelum dilanjutkan ceritanya. Dari tadi segala makanan dan minuman yang kusentuh diminati semut, yak?! Air putih di dalam gelas aja semut doyan. Apa memang begitu, orang manis selalu meninggalkan bekas yang manis di benda-benda yang dipegang? Kok semutnya pada ngerumuni? (Narsis mode on). Ra sah digathek no (nggak usah dipikirin) ^_^. (Bagian ini saat aku mengetik, bukan bagian dari cerita, hehe).


Pukul sembilan hampir saja lewat saat kutatap jam dinding di dinding (kalau di tangan namanya jam tangan, kalau di dompet namanya ja ngan mengambil isinya, he). Seperti biasa (dinyanyiin, yak). Kali ini ada todongisasi lagi. “Ayo mbak Fira tausiyah”. Kata mbak Hety.


“Hah, Kang aja.” Kilahku sambil menunjuk Kang Sam di sampingku (ada jaraknya lho, kira-kira seratus meter, hehe).

“Mbak Fira aja.”


Ya, sudahlah mereka memang kompak kalau urusan todong-menodong yang seperti ini. “Awas, suatu saat giliran kalian, haha”. Ya dunk, adil. Semua harus ngerasain di todong mendadak. Ck ck ck.


Hanya Allah yang tahu bagaimana aku tidak merencanakan apapun yang akan kusampaikan. Hanya satu kebiasaan yang tidak pernah hilang dari diriku. Kemana-mana harus membawa Qur’an terjemahan milikku sendiri yang banyak “coretan” indahnya. Setelah selesai tilawah, karena aku tidak banyak paham bahasa Arab kecuali beberapa kata, aku harus membaca terjemahannya. Nah, moment seperti itu yang membuatku jadi menemukan ayat-ayat yang menarik untukku. Meski setiap ayat menarik, aku suka menandai ayat yang berisi satu cerita atau beberapa ayat yang berisi sebuah kisah atau hikmah. Cara ini lumayan buat tadabbur. Aku jadi bisa merasa kalau Al Qur’an itu pedoman, bukan hanya bacaan! Daaaan, lebih lumayan lagi, kalau harus tausiyah mendadak, asal aku membawa Qur’an pribadi, bisa siap kapan saja. Cie…!Subhanallah! Jadi nggak ada istilah tidak siap untuk seorang da’i (begitu kata para ustadz/zah ku dulu, dulu dan dulunya). Lagian ni ya buat yang sering ditodong, kenang saja kisah yang barusan dialami, dialami orang atau saat perjalanan, pasti dapat ide, buat dongeng, eh tausiyah dink. Insya Allah. Lebih dari semua itu, jangan lupa minta hidayah Allah, biar Allah yang mempersiapkan redaksinya. Kita tinggal bersuara saja. Oke!

---

Aku tidak tahu harus mengatakan apa merasakan pengalaman tausiyah hari itu. Badanku merinding sediri setiap kali aku menyampaikan sesuatu yang “ada muatannya”. Para ibu yang ada dihadapanku beberapa meneteskan air mata yang cepat-cepat mereka hapus. Aku paham semua gerak-gerik audiens karena keep contact dengan mereka. Dan aku sendiri merasakan ruhiyah yang “beda” hari itu. It’s miracle! Kuakui, sudah sangat lama rasanya aku tidak bisa bicara dengan “ber-ruh”, ada ruhnya (selama ini ruhnya jalan-jalan kemana, mbak?). Semua berawal dari ketidakdisiplinanku shalat malam. Shalat yang dulu kuyakini sebagai transfer energy dan kekuatan langsung dari Allah bagi hamba-Nya. Memberatkan ucapan dan menyempurnakan “cahaya”. Dulu, kalau malamnya aku tidak bangun shalat malam, aku selalu mengatakan bahwa aku tidak punya “harga diri” untuk hari itu. Karena harga diri seorang muslim ia peroleh dari shalat malamnya, tahajudnya. Pantas Rasulullah, saat berkemul langsung disiruh Allah bangun, meski sedikit, untuk shalat malam. Untuk memberi peringatan. Karena bagaimana mungkin seorang penyeru tidak melibatkan Allah dalam ucapannya. Seberapa besar kekuatan lisan kita untuk menyentuh hati seorang hamba tanpa melibatkan Pencipta hati itu? Nihil! Yang ada hanya retorika dan show kepandaian yang semua orang bisa dapatkan dari membaca buku, internet dan dari mendegar kajian! Dan ini yang sedang kualami. Aku kehilangan cahaya dan kehilangan kemulyaan seorang muslim. “Ya Allah, pertemukan aku dengan imam keluarga yang ahli tahajud. Menjadi singa di siang hari dan rahib di malam hari. Jadikan hamba ahli tahajud beserta seluruh keturunan yang mulia. Pemberat bumi dengan laa ilaha ilallah. Amiin”. Ternyata tidak mudah ya, mau balik kepuncak iman itu. Sebelum aku menulis kisah ini, tadi malam aku sempat melakukan aktivitas baik yang dulu jadi kekuatan. Bangun pagi, lalu mandi dan shalat. Ternyata baru empat rakaat saja sudah mulai menguap! Kalau saja bisa shalat bareng. Apalagi bisa mendengarkan bacaan Qur’an yang tartil yang keluar bukan hanya dari lidah, tapi dari qalbu. Oh...Subhanallah! Tapi semua pada tidur lelap dan sedang banyak yang tidak shalat. Olala. Kok Curhat. Lumayanlah, sudah ada niat baik, meski kandas juga. Hehe.

Baik, kita lanjutkan. Yang sabar ya bacanya. Karena sesuatu yang ingin kuceritakan masih harus berlembar-lembar lagi dari halaman ini. Hihi.


Intinya Aduhai Qur’an hari itu happy ending. Bahkan di ending setelah penutupan juga ada yang cerita bagaimana hidupnya. Dia seorang anak gadis yang sedang mencari jati diri yang akhirnya menemukan kehidupan pengungsian.

“Dulu, mbak. Aku kalau mau aja tinggal minta. Ya, pokoknya yang kumau bisa mendapatkan. Kadang uang Rp 500.000 habis sebentar saja di took baju. Sekarang bajuku yang mahal-mahal itu, barang-barangku, tidak ada yang selamat. Pakai pakaian apa adanya. Pas di Maguwo kemarin, aku sama mbakku milihin baju bekas sambil nangis. Pakaian seperti ini dipakai, kataku. Tapi kata mbakku, nek ra gelem nganggo iki, kowe arep salin opo?”. Dari dialog kami aku menyimpulkan bahwa ia akhirnya mau tidak mau harus menerima apa yang Allah berikan hari ini. Berarti tausiyah tadi yang kupetik dari Al Baqarah 214 mengena baginya, juga semoga bagi ibu-ibu yang lain. Karena aku melihat ada efek AHA! yang sering kami sebut dalam tradisi training kalau audiens memahami apa yang disampaikan.


“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata : ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” Q.s. 2:214.


Allah akan berikan semuanya yang kita inginkan seperti dalam surat Al Fath 1-5 dengan syarat di ayat keenamnya “tidak berprasangka buruk pada Allah.” Sungguh segala yang kusampaikan sesungguhnya Allah tujukan pada diriku sendiri hanya jalannya harus dipantulkan pada orang lain yang mendengarkanku. Agar dengan turun naiknya nada bicaraku, ekspresiku, aku bisa merasakan sendiri, beginilah tausiyah yang paling efektif untuk hati yang mulai mengeras seperti milikku. Allah mengajariku, bahwa apa yang kualami akhir-akhir ini hanya bukti kalau Allah ingin aku menjadi dewasa mengukur resiko hidup. Namanya hidup ya harus ada susahnya, depresinya, dihianatinya, dikecewakan, kekurangan dan segala hal pahit yang cukup untuk sharingkan dengan Allah saja. “Bagaimana mujahidah, sudah siap melanjutkan hidup? Atau masih tetap ingin segera mati saja?. Innallaha ma’ana!” “Allah, love U. Makasih ya, Allah. Izinkan aku husnul khatimah. Amiin.”

---

Kang Sam memilih untuk menanti Dzuhur di masjid sementara kami pulang. Karena beliau masih ada agenda pertemuan dengan bapak-bapak pengungsi. Lumayan, aku jadi lebih bebas berekspresi di jalan, seperti biasa. Aku yang ekspresif akan sangat kikuk kalau harus ada makhluk laki-laki disekitarku yang bukan mahrom. Bahkan dulu aku pernah berharap jika saja di dunia ini ada tempat yang tidak ada laki-lakinya, pasti seru. Tidak perlu jaga sikap, tidak perlu “perang” dengan teman pria seorganisasi seperti dulu waktu masih kuliah (emang sekarang sudah nggak kuliah, po?!). Hehe. Tapi sunatullah tetap saja sunatullah. “Bukan begitu?”. Tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia dan tidak seimbang (jadi ingat Al Mulk).


Setelah merasa hari ini ending dari agenda sepekan yang menyita hati dan pikiran, aku sangat berharap bisa istirahat dengan satu kata “tidur”. Siangnya aku benar-benar ingin tidur dan tertidur cukup lama sampai adzan Dzuhur tidak lagi membangunkanku. Sebelum tragedy berdarah itu terjadi. Dan Polisi.... (bersambung).



---







































Rabu, 29 September 2010

Izinkan Aku Kembali

Alhamdulillah, kalimat yang akhirnya mengiringgi ma’tsurat pagiku yang penuh perenungan. Bukan aku merenunggi maknanya, karena setidaknya aku sudah mengerti maknanya bahkan sejak aku memeluk agama ini, hingga wirid pagi petang itu menjadi “senjata” pembuka dan penutup hari, tapi hari ini aku kembali bangun dari tidur panjangku yang lamanya berhari-hari, berpekan-pekan, bahkan ribuan jam yang kukorbankan!

Entah bagaimana cara Allah menelusupkan hidayah itu ke qalbuku, hanya ketika mataku telah benar-benar terbuka, jiwa ini berbisik letupan syukur. Aku harus kembali! Kembali menjadi seorang Safira yang dulu menjaga adab-adab hidupnya hanya karena berharap tidak kian menyakiti tubuh ummat ini atas berbagai penyimpangan yang kulakukan. Kembali menjadi seorang wanita yang menjaga ‘izzah yang hampir terlempar di tepi aspal-aspal malam.

Pengingkaranku terhadap kondisi telah mematahkan pertahanan yang kubangun dengan air mata dan cucuran keringat! Tidak ada yang kuharapkan selain, agar Allah menuntunku dan memudahkan jalanku untuk “kembali”. Kembali menjalani hari tanpa sekedar kepenatan malam, tapi mempersiapkan malam-malam indahku dengan jiwa dan fisik yang suci! Tidak sekedar bangun karena merasa dihutangi nikmat fisik, ‘aqli dan jiwa, tapi bangun untuk menata cara menyambut mentari pagi yang akan tetap bersinar hingga Maghrib menghampiri.

Semoga hari ini dan selanjutnya akan jauh lebih baik dari menit-menit yang telah berlalu! Semoga jiwa ini senantiasa dituntun untuk menggapai kemulyaan yang tidak bosan-bosannya ditawarkan! Menepati janji yang tidak pernah diingkari. Hingga akhirnya memandang “senyum” terindah yang tidak terlintas dalam pikiran dan imaji hamba. Senyuman milik Sang Pencipta.

Thank’s so much, Rahiim! ^_^

My Diary, 06:11 8 April 2010

Ok, yuuk berkarya! Bikin SOP, bikin SOP, haik! ^_^

Sabtu, 12 Desember 2009

INDULGENSIA BUNDA


Sahabat, Fira sudah menerbitkan buku lho dengan teman-teman di Gerombolan Kreatif. Buku ini diberi judul Indulgensia Bunda yang diambil dari salah satu judul tulisan yang ada. Ada berbagai tulisan di dalam buku ini. Ada cerpen, surat, proposal, esay dan sebagainya yang semuanya kreatif dan inspiratif.

Buku ini tidak dijual bebas di pasaran, maka untuk sahabat yang berminat memesan sebagai persiapan kado di HARI IBU, segera jadilah pemiliknya yang pertama dengan menghubungi penulis : SAFIRA SAKSONO di 085266493946 atau via account Face Book:MARTHA DEWI SAMODRAWATI.
Email:fira412@gmail.com

Hanya seharga Rp 27.500 (tidak termasuk ongkos kirim di luar Jogja-tempat tinggal Fira).
Silakan transfer ke Rekening Mandiri Cabang Bangko an. TRISNO SAKSONO
Nomor rekening 1100004355134

Hubungi dulu ya kalau mau pesan, buat konfirmasi alamat pengiriman.
Semoga bermanfaat! ^_^
Maturnuwun...

Senin, 31 Agustus 2009

Tak ada yang lebih mengerti!!!


Telephon berdering di hand phone jadulku. Bapak memintaku pulang untuk sebuah acara. Ah, Bapak. Pasti engkau kangen pada putrimu inikan? Lagian acaranya tidak penting-penting amat bagiku. Setelah ujian, aku memang belum sempat pulang. Masih banyak urusan dikampus yang tidak mudah kutinggalkan. Maklum aktivis!he he he.

Pak Kades datang siang itu dengan membawa berita yang membuatku bingung untuk bersikap. Senang atau harus sedih? Entahlah yang pasti aku kadang bosan dengan hal-hal seperti ini. Pikiran burukku mengatakan, ”seakan hanya jadi obyek”. Tragis. Kasihan sekali mereka. Mereka? Aku juga kale!. Tidak, karena aku berbeda. Aku sudah merasa berdaya dan puas dengan yang kumiliki dan kurasakan. Apa kupikir mereka tidak? Mereka mungkin juga jauh lebih kuat dan tegar dengan alur hidupnya. ”Mau bagaimana lagi, mbak!”.

”Mbak, besok ada kegiatan Rehabilitasi sosial keliling untuk penyandang cacat, tadi pak Kades datang mengantarkan undangannya”.

”Acaranya apa, pak?”

”Ada pelatihan beberapa skill sepertinya”.

”Dimana, pak?”

”Di Sarolangun, besok diampiri mobil dinas sosial jam tujuh. Sepertinya mobil yang dulu pernah jemput mbak Dewi pas SD itu. Siap-siap aja di depan rumah.” Aku diam saja. Mungkin Bapak tahu kalau aku bosan dengan hal-hal seperti ini. Bapak juga tahu seperti apa putrinya. Tanpa program pemberdayaan pun aku sudah berdaya.

”Mungkin mbak malah bisa membantu tim dinas sosial”. Ucap Bapak akhirnya.

”Ouo, njih, Pak lihat situasinya dulu”.

Bapak juga sudah tahu kalau aku bahkan sudah merintis lembaga training bersama teman-teman. Materi motivasi selama ini selalu ditugaskan padaku. Entah apa maksud teman-teman. Tapi aku percaya mereka memahami aku seperti aku memahami mereka. Karena aku ”provokator” J. Bermacam-macam niat tiba-tiba mampir diotakku. Aku bisa merasakan psikologis penyandang cacat. Mereka tidak akan mampu bangkit hanya dengan motivasi yang lahir dari dalam dirinya. Apalagi jika lingkungannya menekan pertumbuhan semangat itu. Sementara mereka belum memiliki nilai yang mampu membuat mereka merasa tidak sia-sia. Mungkin suatu hari nanti bisa bekerjasama dengan dinas sosial untuk pembinaan ini. Amiin.

......

Tak ada yang bisa mengerakkan hatiku selain dari membantu memenuhi kewajiban pak Kades untuk mendata dan menyertakan warganya dalam program sosial itu. Apa yang istimewa? Aku juga pernah mengikuti aktivitas serupa. Bedanya saat itu aku masih kecil. Seingatku baru kelas tiga SD. Masih imut-imut dan lucu-lucunya J. Masak sich? Iya, karena tidak ada orang lain yang serapi dan selucu diriku di tempat itu. Kita diperiksa satu persatu oleh tim medisnya. Ditanya-tanya lalu diputuskan akan diberi alat bantu seperti apa, atau perlakuan yang menurut mereka ”tepat”. Mungkin karena aku masih terlalu dini untuk memahami program ini saat itu, aku hanya melihat bapak-bapak, ibu-ibu ada juga anak-anak seusiaku yang memiliki keunikan sendiri-sendiri dan manis menurutku. Karena mereka special. Ada yang tidak punya tangan, kaki, ada yang badannya besar tapi tingkahnya seperti anak-anak, ada bayi yang tidak tumbuh sempurna dan kepalanya besar. Aku jadi berfikir, kok yang sakit begini juga ada disini? Bukannya harusnya di bawa ke rumah sakit? Oh, mungkin memang para kepala desanya hanya asal angkut saja, urusan pilih-pilih itu urusannya para medis itu. Nanti mau diperlakukan gimana, dirujuk kemana, yang penting dapat pertolongan pertama dulu. Maksudnya dibawa ke kegiatan sosial ini. Seingatku, mereka umumnya orang-orang yang menengah ke bawah. Layanan seperti ini mungkin juga membantu. Seberapa membantukah?

Dari yang lengkap ingatannya sampai yang hilang ingatannya ada disini. Antrian yang panjang, kasihan mereka. Aku tidak pernah merasa bagian dari keterpurukan nasib mereka. Perasaan nyaman itu mungkin yang membuatku beda. Aku hanya bermain saja dihalaman sekolah yang dijadikan tempat pelayanan itu. Masih dengan seragam sekolahku yang rapi. Lucunya. Ya karena saat itu, aku dijemput Bapak ke sekolah karena mau diajak hadir di kegiatan ini.

Karena perjalanan dari rumah cukup jauh, sampai siang hari begini aku masih pakai seragam sekolah. Sementara SD yang dipakai untuk acara ini sudah ditinggalkan makhluknya eh muridnya. Anak sekolahan nieh. Bangga juga rasanya. Aku merasa lebih beruntung dari mereka. Meski sama-sama penyandang cacat, masih bisa merasakan jadi anak sekolahan, tidak sekolah di SLB tapi bersama anak-anak yang katanya normal. Padahal teman-temanku juga banyak yang ”aneh”. Masak sich, anak normal kok suka aneh? Kalau diajarin gak mudeng-mudeng, nakal tidak produktif. Meski aku juga nakal, tapi kan selalu produktif. Tepatnya sering, bukan selalu! He he. Jadi apa bedanya anak SLB dengan anak-anak yang sekolah di sekolahan normal/biasa? Saat bapak-bapak tim medis itu menanyakan adabtasiku di sekolah biasa dan menanyakan kemungkinanku masuk SLB ke Bapak, aku jadi bingung sendiri. Bukankah seharusnya anak sepertiku tidak boleh didiskriminasikan? Aku juga berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Aku juga berhak menentukan mau sekolah dimana. Buatku sudah tidak penting masalah adabtasi harus dibesar-besarkan. Justru perlakuan yang khusus akan membuat anak sepertiku tidak bermetal baik. ”Dianggap beda”. Seperti anak-anak aneh yang harus dimasukkan ke penjara yang jauh dari peradaban luar. Bukankah suatu saat nanti kami juga harus berinteraksi dengan berbagai bentuk manusia? Mengapa tidak dibiarkan saja kami menjalani proses persaingan hidup bersama. Bukan perlakuan istimewa itu yang seharusnya diberikan, tapi perhatian yang benar dalam pebinaan mental kami para penyandang cacat!

Dasar anak kecil, tapi aku diam saja saat bapak ibu para medis itu tanya ini itu. Biar Bapak yang jawab. Lagian aku tetap saja juara di sekolah. Imposibble kalau Bapak mau menyekolahkan aku di SLB. Hanya cacat sedikit ini, lagian tidak menghambatku untuk bisa berfikir normal. Huuuhhh, memuakkan!

Lagi-lagi memang aku masih begitu kecil saat itu, setelah diperiksa, aku kembali bermain dan diam-diam memperhatikan orang-orang unik disekitarku. Aku tahu, mereka juga pasti tidak suka kalau kuamati terus. Mereka bisa saja jadi minder karena kondisi fisiknya. Aku paham itu. Sebisanya aku bersikap normal atau kadang melemparkan senyum imutku. Ya Allah, Engkau menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, itu pasti!

Dhin dhin dhin...suara klakson mobil dinas sosial sudah memanggilku untuk keluar rumah. ”Mbak, jemputan sudah datang”. Ibu mengingatkanku. Kali ini aku harus pergi sendiri karena aku sudah jadi mahasiswa. Lebih tepatnya sudah sarjana. Meski tidak ada yang akan menyangkanya. Apa peduliku. Tubuhku yang awet imutnya ini selalu saja menipu banyak orang. Mereka pasti berfikir kalau aku masih anak SMA atau kalau yang keterlaluan mungkin dikira masih SMP atau malah SD J. Tidak apa-apa, itu namanya awet muda!

Dulu saat SMP aku juga pernah ikut kegiatan seperti ini. Aku dapat kenang-kenangan sepasang tongkat penyangga dari dinas sosial. Ya hanya jadi kenang-kenangan karena sampai hari ini aku enggan memakai tongkat itu yang hanya membuatku tidak leluasa berjalan. Bahkan masih berada dibungkusan plastik dan kupajang saja disudut kamarku untuk dipandangi sebelum dan setelah tidur. Tapi bukan benda yang dikeramatkan lho! Lucunya, karena aku tidak punya perasaan apapun dengan selalu melihat barang menarik itu. Harusnya kan, aku menangis kalau melihat togkat itu. Bukankah itu lambang ketidakberdayaan? Ketergantungan? Tidak demikian karena aku merasa sudah mampu menerima kenyataan ini 100%. Ya, aku seorang penyandang cacat, lalu kenapa?! Kata orang-orang dari dinas sosial dulu, kata ”penyandang” dipilih karena kami hanya menyandang gelar itu saja. Toch, tidak menutup kemungkinan orang-orang yang hari ini sehat lengkap fisiknya bisa mengalami hal yang serupa dengan kami. Buatku ini pasti terasa sangat menantang.

Suatu hari teman SMP ku yang kebetulan rumahnya juga tidak jauh dari rumah dan biasa seangkot bersama, kecelakaan. Kakinya patah. Anaknya manis eh, cantik ding. Sepertinya dia begitu tertekan. Sebagai gadis cantik yang biasanya lincah dan disukai banyak anak-anak putra, sejak kejadian itu ia seperti orang yang tidak percaya diri. Bukan seperti lagi, tapi aku yakin, pasti! Dia tidak lagi berani berbicara dengan manatap lawan bicaranya. Mungkin dia merasa begitu hina. Tiap naik turun angkot, dia begitu kesulitan. Maklum, penyandang cacat baru. He he. Lho kok diketawain, biarin biar dia tahu rasanya. Bukan itu maksudku, aku hanya melatih dia untuk menerima kenyataan dan percaya bahwa ia bisa sembuh lagi. Tiap berangkat, aku selalu berusaha menemani dan mengantarkannya sampai ke dalam kelas lalu mengunjinginya saat akan pulang. Bukan karena kasihan, tapi aku bisa merasakan beratnya menyesuaikan diri dengan profile yang baru. Padahal aku sendiri juga tidak kuat-kuat amat seandainya harus menolonya saat jatuh. Tapi setidaknya aku bisa pakai jurus sakti ”teriakan minta tolong”. Aku berharap, dengan adanya teman yang memperhatikannya, hatinya jadi lebih kuat dan ini sangat baik bagi perkembangan kesehatan kakinya. Dalam pemahamanku, stimulus positif itu begitu berkesan dalam banyak penyembuhan penyakit. Gak percaya? Buktikan sendiri! Pikiran positif dan lingkungan positif yang kita rasakan akan mempercepat penyembuhan penyakit meski tanpa obat-oabatan kimia sintetis. Karena dengan rangsangan positif ini, otak akan bekerja lebih ekstra untuk mengomandoi organ-organ tubuh untuk melakukan aktivitas penyembuhan. Coba saja kalau sedang pusing, pegang bagian yang pusing dan bacakan beberapa surat pendek dari Al Qur’an sebagai stimulus positifnya dan katakan dengan yakin bahwa pusing itu akan mulai hilang perlahan-lahan. Dijamin, tambah pusing eh enggak. Insya Allah sembuh. Tapi harus tahu dulu penyebab pusingnya, kalau karena lapar ya makan obatnya. Sambil baca-baca mantra, eh maksudnya ayat-ayat tadi, pijit beberapa titik kontak syaraf yang ada di tangan dan kaki. Wah gak rampung ntar kisahnya kalau ditambah ilmu yang ini. Kalau mau belajar hubungi nomor sekian-sekian J. Back to fokus!

Untuk aku yang sudah cacat dari kecil, biasa saja dengan hidup begini. Jadi bahan tertawaan orang, teman-teman, anak-anak kecil. Di pandang dengan tatapan yang mengasihani, atau malah dianggap tidak layak dengan posisi tertentu hanya karena cacat fisik, itu mah biasaaa!. Tapi bagaimana dengan mereka yang cacatnya baru? Mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin tidak menyenangkan. Bagaimana tidak, apa yang sebelumnya mampu dilakukan sendiri menjadi begitu terbatas. Akhirnya harus bergantung pada orang lain dalam banyak hal. Ketergantungan ini dan kondisi fisik yang berubah, membuat banyak orang tidak percaya lagi pada dirinya. Bahkan tidak jarang yang akhirnya lupa dengan potensi-potensi yang tersimpan dalam dirinya. Ia lebih asyik dengan aktivitas barunya. Meratapi nasib dan merasa menjadi manusia tidak berguna! Wuih,..tragis! Apalagi jika ia merupakan tulang punggung keluarga atau, harapan tempat bersandar banyak orang, ia merasa menjadi benar-benar tidak berguna. Jika tidak kuat, tidak sedikit yang akhirnya memilih bunuh diri. Na’udzubillahi mindzalik! Ya Allah, seberat itukah hidup?

...........

”Martha Dewi Samodrawati!”. Panggilan itu akhirnya sampai juga diurutan namaku. Sedari pagi aku hanya mencoba berkenalan dengan manusia-manusia unik ini. Berusaha untuk membuat mereka bahagia. Dasarnya aku memang suka bersama anak-anak, semua anak kecil yang unik ini akhirnya bisa kujinakkan! Aku satu-satunya mahasiswi di sini. Paling manis lagi (narsis!). Rasanya aku salah alamat dan nambah-nambahin pekerjaan kru dinas sosial. Harusnya aku yang membantu mereka untuk urusan seperti ini. Kemampuan bersikap simpatikku tidak akan mengecewakan. Sejarah juga sudah membuktikan bahwa aku juga sering membuka praktik ”pelacur” tidak resmi. Ups, jangan salah sangka dulu, maksudku pelayanan curhat gitu lho! Jadi, seharusnyalah jika aku bisa membuat orang-orang ini nyaman dengan hadirku. Bukankah aku memang ”wanita penghibur”. Tuh, kan....dilarang berfikir negatif lho! Ini kawasan ”berikat” dan terikat (pakai apa?). Terikat pada norma-norma hati yang dibuat oleh pembaca sendiri J. Ok, deal?

Hobi kenalan rupanya ada manfaatnya juga. Aku memang sama dengan penyandang cacat lainnya, tapi bedanya aku sudah masuk bagian dari sedikit komunitas yang tercerahkan. Ya, tercerahkan adalah istilah yang paling tepat. Aku merasa telah menemukan hakikat penciptaanku dan nyaman dengan apa yang kumiliki dan rasakan. Kuberharap virus motivasi positif ini akan menular lewat sapaan, senyuman dan diskusi ringanku dengan mereka. Menjadi penyakit yang melenakan jiwa. Hingga mereka tidak peduli pada orang-orang negatif yang ada disekitarnya yang selalu menularkan aura negatifnya. Ya, orang-orang negatif memang suka bawa sial! Auranya bisa mematikan sel-sel positif yang bergejolak dalam diri mereka yang butuh disalurkan segera sebelum ia digantikan dengan sel baru atau mati mengenaskan! Yap, aku akan menularkan virus itu.

......

Siapa yang tidak senang jika dirinya merasakan sinyal-sinyal penerimaan dari target operasinya? Pun aku, meski mungkin hanya hari ini bersama mereka, aku bahagia sekali. Semoga mereka bisa bermimpi lebih tinggi dari apa yang telah kudapatkan. Karena aku juga masih punya banyak stock mimpi yang akan kuserahkan pada Penciptaku. Agar Dia mengembalikan mimpiku dengan warna-warna yang mengagumkan. Aku percaya itu!

Anak-anak ini, bapak-ibu, mas dan mbak yang ada diantaraku ini. Mereka harus tahu bahwa kondisi fisik bukanlah halangan yang berarti bagi masa depan mereka. Apalagi masa depan akhir hidup mereka. Di Palestina, seorang pria pincang dan selalu bersama kursi rodanya tetap menjadi penggelora semangat perjuangan orang-orang disekelilingnya untuk mencapai cita-cita tertinggi, asma amanina,...syahid sebagai syuhada atau hidup mulia! Siapa yang tidak mengenal pria pincang itu? Bahkan Israel bangsa yang konon very very cerdas, begitu takut dengan keberadaannya. Apalah yang bisa dilakukan oleh seorang yang cacat dan harus diantarkan oleh kursi rodanya? Apa ia bisa ikut perang, bisa melatih brigade militer atau apalah....Ternyata ada hal istimewa yang ia miliki yang mungkin tidak dimiliki oleh selainnya, karena Allah menciptakan manusia dengan kunikannya masing-masing. Kekuatan ruhiyahnya jauh lebih berbahaya dibandingkan seluruh senjata pemusnah masal mana pun buatan Israel. Kedekatannya pada Pemilik nyawa, jauh lebih dekat dari tembok ratapan Yahudi. Dialah Syekh Ahmad Yassin. Pria sederhana yang tewas dibom dan berserakan bersama kursi rodanya oleh kebiadaban Israel! Orang-orang ini, disini, pasti juga punya keistimewaan, aku percaya itu. Hanya mampukah mereka mengenali dirinya dan melejitkan potensi istimewa itu menjadi sesuatu yang dikenang oleh sejarah. Setidaknya sebagai cerita positif bagi anak cucunya kelak.

”Martha kuliah di Unja?”

”Iya, pak. Di Fakultas Hukum”

”Martha, dari dinas sosial kita punya beberapa program yang bisa Martha manfaatkan. Kita menyediakan beberapa pelatihan skill di Bandung dan Jakarta. Seperti yang Martha lihat, anak-anak tadi juga akan ditangani sesuai kebutuhannya.”

” Tadi Martha bilang sudah lulus kuliah, ya?”

”Iya, pak. Baru dua pekan yang lalu saya ujian. Karena di suruh pulang sama orangtua untuk datang di acara ini, makanya saya pulang”.

”Kalau Martha bersedia, kita bisa mengirim Martha untuk ikut pelatihan yang cocok dan Martha suka”.

”Mohon maaf bapak sebelumnya. Saya sebenarnya senang sekali jika bisa mengikuti pelatihan-pelatihan itu. Saya jadi punya skill tambahan. Tapi mohon maaf, pak. Orangtua meminta saya untuk melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan UGM tahun ini. Insya Allah akhir bulan ini saya sudah harus berangkat ke Jogja karena harus ikut test penerimaan.”

”Wah, bagus kalau begitu. Bapak bangga! Semangatmu untuk kuliah tinggi. Bapak doakan semoga apa yang Martha cita-citakan terwujud.”

”Amiin! Terima kasih, pak. Jika ada hal yang bisa kita kerjasamakan, saya bersedia dihubungi, pak. Saya bersama teman-teman di Jambi juga punya lembaga training, namanya ChaMpion Leadership Centre.”

”Hehemm. Yaa. ”Ini kartu nama Bapak. Kalau pulang ke Jambi, silakan mampir ke rumah”.

”Terima kasih sekali, pak. Saya tidak akan melupakan pengalaman ini”.

......

Hampir sore ketika aku akhirnya sampai di rumah. Mobil yang mengantarkan kami harus pula mengantarkan satu-persatu penyandang cacat yang datang di program ini. Lumayan, aku jadi bisa merasakan masuk-masuk ke beberapa desa di Sarolangun. Kondisinya beragam. Ada yang jalannya sudah diaspal, ada yang masih jalan tanah dan sangat becek setelah dilalui truk barang yang biasa mengangkut karet dan sawit. Yang pasti buatku setiap perjalanan adalah hal yang menarik. Banyak pelajaran yang tak akan pernah kuterima di bangku kuliah apalagi dengan jurusan yang kupilih. Bagaimana memahami orang-orang dengan keterbelakangan mental yang kadang ngamuk, menguatkan para penyandang cacat hanya untuk mau hadir saja di acara seperti ini, masih banyak lagi. Rupanya rasa minder yang dalam membuat kebanyakan mereka hanya berdiam diri di rumah dan terisolasi dari warga sekitar. Begitu yang kutahu dari para kru dinas sosial ini. Sabarnya mereka ya. Menjemput satu persatu, membujuk, lalu mengantarnya lagi pulang. Semoga diberi balasan yang baik. Ternyata masih ada di negeri ini orang-orang yang bisa bersikap santun kepada para penyandang cacat. Maklum, dulu sewaktu kecil aku sering merasakan sikap yang tidak simpatik kecuali hanya kasihan!

Aku harus lebih baik dari teman-teman sesama penyandang cacat itu. Meski tidak sempurna, aku masih memiliki fisik yang bisa dibawa kemana-mana. Aku masih memiliki banyak potensi yang tersimpan. Aku juga bukan anak idiot. Setidaknya tidak layak bagiku untuk meratapi kondisi dengan kekayaan ciptaan Allah atas fisikku. Hatiku. Dengan merasa tidak berguna dan menjadi beban, secara sadar atau pun tidak, aku sedang memaki Penciptaku dan menampar muka-Nya dengan keluhan-keluhanku. Mengapa aku harus diciptakan cacat? Mengapa aku tidak seberutung anak-anak lain yang memiliki dua kaki sempurna. Jika mereka ingin latihan naik motor atau nyetir mobil, mereka tinggal latihan saja. Toch, dua kakinya kuat untuk itu. Sedangkan aku, kemana-mana harus diantar. Malah dulu saat masih lumpuh, harus digendong kemana-mana.

Rahman Rahiim, aku tahu semua yang Engkau beri bagi hamba-Mu adalah adil. Aku tidak pernah tahu jika saja aku bukan penyandang cacat, entah seperti apa liarnya diriku. Atau sudah jadi apa diriku. Dan bimbingan yang selalu hadir dalam hidupku ini, selalu saja membuatku merasa kuat meski sering jatuh dan jatuh lagi dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan menyenangkan. Yach,...aku harus menerima ini. Harus!

Dulu saat aku masih kecil, aku sering ingat lagu sekolah minggu yang masih kuingat hingga hari ini. Begini kurang lebih syairnya

Ada orang buta

Duduk minta-minta

Tiap-tiap hari dipinggir jalan

Pada suatu hari

Tuhan memberkati

Karena Tuhan cinta celik matanya

Celik matanya

Celik matanya

Karna Tuhan cinta dia disembuhkan!

Aku lalu mengqiyaskan dua celik mata orang buta itu dengan kedua kakiku. Saat itu, aku percaya, bahwa satu kakiku yang sempurna juga Tuhan simpan disurga seperti halnya mata orang buta itu. Hanya tinggal menunggu waktu kapankah aku akan bertemu dengan dua kaki sempurnaku di surga. Indahnya, subhanallah...Ini pula yang rupanya membuatku merasakan kefanaan dunia dan tidak terlalu berharap banyak darinya. Karena toch, yang kuharapkan adalah bertemu dengan hal-hal yang kucintai di surga. Maka ketika aku merasakan lelah yang sangat payah karena harus berjalan kaki, saat itu aku kembali mengingat lagu ini. Menghibur diri karena mengharapkan pertemuan yang abadi. Anak kecil!

Rahiim, harusnya hari ini aku masih seperti dulu. Oh, sungguh dunia begitu melenakan!

11:41 29 Agustus 2009

Aku lebih tertarik menulis ini daripada BAB IV Tesisku,...OH L.maafkan!

Lalu adzan Dzuhur mempertemukan kembali ku pada-Nya. So nice^_^.

Jumat, 21 Agustus 2009

Ucapan jelang Ramadhan

Tak henti-hentinya HP itu berdering. Dari lepas tegah malam tadi. Semua bermotif sama ”tulisan indah selamat Ramadhan dan permohonan maaf”. Kurasa ini akan terjadi sepanjang hari ini. Tua muda, kecil besar, harusnya aku membalas. Lebih tepatnya aku yang mengirimnya duluan. Tapi, maaf. Aku tidak akan melakukan ini. Meski kadang cinta harus diuangkapkan, tapi biarlah kutitipkan kata hatiku ”sama-sama Pakde, Mas, Mbak, Dik,…..”. Aku sudah memaafkan segala kesalahan orang lain padaku meski tiada yang meminta. Semoga demikian pula kalian. Maaf, aku sedang tidak punya pulsa yang cukup untuk membalas. Daripada satu dibalas lainnya tidak, lebih baik kubalas saja lewat hembusan angin yang menemaniku .


Aku mencintai kalian semua karena Allah. Selamat Ramadhan 1430 H. Semoga ujung Al Baqarah 183 menjadi milik kita.


Doakan aku komitmen dengan targetan sepanjang bulan ini.

Masa Ramadhan ini tidak akan lebih panjang

dari bulan-bulan perjuangan,

maka raih kesempatan perbekalan ini

dengan sempurna!”


Begitu tulisan yang tertera diakhir mimpi Ramadhanku yang kuhias indah dalam sebuah slide powerpoint. Romantis sekali!

10:33 21 Agustus 2009